Friday, June 11, 2010
Apa Kabar?
Pernahkah teman-teman merasa sedih setelah ditanya “apa kabar” atau “bagaimana keadaanmu” dan pertanyaan sejenisnya? Baru-baru ini aku mengalaminya. Sedih bukan karena sedang mengalami masalah sehingga ketika ditanya aku jadi teringat masalahku (saat ditanya aku malah tidak sedang mengalami masalah), tetapi karena respon si penanya. Memang apa yang dilakukannya? Simpel dan seringkali tanpa sadar juga kita lakukan. Tidak merespon!
Mungkin teman-teman bahkan aku sendiri pernah atau malah sering bertemu orang, sms, telp, chatting, email dan menanyakan kabar mereka. Namun, apakah kita sungguh-sungguh dengan pertanyaan itu? Apakah kita sungguh-sungguh peduli dengan keadaannya sehingga kita bertanya “apa kabar”? atau kita hanya sedang berbasa-basi saja untuk memulai pembicaraan atau untuk menyapa seseorang? Hal ini terutama lebih mudah terjadi kalau orang yang kita tanyakan tidak ada di hadapan kita meski tidak menutup kemungkinan kita juga hanya berbasa-basi dengan orang yang kita temui secara langsung.
Kita terlalu terbiasa mengucapkan “apa kabar?” saat memulai komunikasi dengan orang lain sehingga kita lupa makna pertanyaan itu. Ketika merasa sedih itulah, aku bertanya pada diriku sendiri, “Andriani, berapa kali kamu bertanya apa kabar pada temanmu dan kamu tidak menunggu dia selesai berbicara untuk memotongnya? Atau berapa kali kamu bahkan tidak perlu repot-repot untuk mengorek lebih jauh keadaan sahabatmu ketika dia bilang “baik” padahal mungkin aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja?”
Aku juga suka menjawab “kabarku baik, sehat dan jawaban singkat sejenisnya.” Memang tidak salah kalau orang akan berespon ini untuk pertama kalinya. Mengapa? Pertama adalah faktor siapa penanyanya. Jika ia adalah orang yang baru kita kenal beberapa hari lalu (baca:orang asing bagi kita) mungkin wajar saja kita mencoba menjawab sesingkat-singkatnya karena mungkin kita belum bisa terbuka. Tetapi jika ia adalah teman kita bahkan sahabat kita apakah jawaban baik saja cukup? Kedua, kita telah begitu terbiasa mengharapkan jawaban “baik” untuk pertanyaan “apa kabar” bahkan kalau perlu tidak usah menunggu jawaban orangnya. Intinya kita merasa orang tidak akan repot-repot peduli atau bahkan mencoba mengerti.
Maukah kita belajar mengubah sapaan pembuka yang kering dengan keingintahuan yang tulus? Alih-alih berhenti ketika orang yang kita ingin perhatikan menjawab “baik”, kita bertanya “sungguh, bagaimanakah kabarmu?” atau misalnya “apakah kamu mau cerita bagaimana perasaanmu hari ini?” Jangan pergi atau mengalihkan pembicaraan sebelum mereka menjawab pertanyaan itu seakan-akan kita tidak bersunguh-sungguh ingin tahu. Setelah mereka menjawab, kita boleh bertanya lebih jauh jika ada yang tidak jelas atau berikan tanda bahwa kita sedang mendengarkan (cth: mengangguk, respon singkat “oh, emm, begitu ya”, atau paraphrase). Sebuah keingintahuan yang tulus dan kesediaan untuk mendengar jawaban mereka akan menciptakan keterbukaan dalam komunikasi kita.
Thanks God for reminding me again about this small but important attitude! =)
PS: khusus untuk teman-temanku sesama PKK, tulisan ini mengingatkanku untuk sungguh-sungguh mau peduli kepada AKK ketika bertanya “apa kabarmu,…?”
Terinspirasi dari pengalaman hidup xp dan buku 101 Ide Jitu Membangun Kekompakan dalam Kelompok Kecil karangan Thom Corrigan.
from: facebook
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search Here
Flashback of Memories
-
▼
2010
(54)
-
▼
June
(14)
- "INTERVIEW WITH GOD"
- "Small thing can be Big thing"
- W..A..K..T..U..
- God's Playing a Joke on Us
- Sebuah hal yang patut dipertahankan
- Perbedaan Antara Suka, Sayang dan Cinta
- Seberapa lama akar itu tertanam?
- Buah & Berlian
- 1 detik untuk membaca
- Apa Kabar?
- Monyet dan Kacangnya
- Mengubah Hati
- Sekilas rasa
- Kopi Asin
-
▼
June
(14)
No comments:
Post a Comment